Sabtu, 28 Desember 2013

KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN HUTAN dan PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM pada MASYARAKAT TORO


PENDAHULUAN


Indonesia dengan berbagai suku bangsa mempunyai keragaman kearifan lokal, kearifan tradisional, dan budaya didalamnya terkandung nilai-nilai etika dan moral, serta norma-norma yang sangat mengedepankan pelestarian fungsi lingkungan. Nilai-nilai tersebut menyatu dalam kehidupan masyarakat setempat  menjadi pedoman dalam berperilaku dan berinteraksi dengan alam, memberi landasan yang kuat bagi pengolahan lingkungan hidup, menjadikan hubungan antara manusia dengan alam menjadi lebil laras dan harmoni sebagaimana ditunjukkan dari pandangan manusia pada fase pertama evolusi hubungan manusia dengan alam, yaitu pan cosmism (Hadi, 2009:23).
                Kearifan tradisional adalah pengetahuan secara turun-temurun yang dimiliki oleh masyarakat untuk mengelola lingkungan hidupnya, yaitu pengetahuan yang melahirkan perilaku sebagai hasil dari adaptasi mereka terhadap lingkungan yang mempunyai implikasi positif terhadap kelestarian lingkungan (Purnomohadi, 1985). Bagi masyarakat adat, kearifan tradisional merupakan peraturan yang harus dipatuhi dan dijunjung tinggi. Kepatuhan ini ada karena kearifan kearifan tradisional berakar kuat dalam kebudayaan mereka dan mendarah daging dalam keseharian hidup mereka.
                Kearifan tradisional ini dapat dilihat pada masyarakat adat Ngata Toro yang tinggal di dalam atau berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.



KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT TORO

Toro terletak sekitar 1200 1’ BT – 1200 30” BT dan 10 29’ 30” LS – 10 32’ LS,dengan luas wilayah 229,5 km2 (22.950 Ha) dan ketinggian rata-rata 800 m diatas permukaan laut (mdpl). Toro berada dalam wilayah kecamatan Kulawi, Donggala, Sulawesi Tengah. Masyarakatnya dikenal sebagai komunitas yang memiliki pranata sosial dan kelembagaan adat yang yang sangat kuat. Struktur masyarakatnya telah teratur sejak zaman nenek moyang mereka. Masyarakat Toro memiliki pemerintahan sendiri yang mengatur segala bentuk kehidupan mereka, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam.
Toro terletak sekitar 120
Dalam pemerintahannya ada tiga unsur yang sama tinggi, yaitu totua ngata, maradika, dan tina ngata.  Ketiganya memiliki fungsi masing-masing tapi tidak berjalan sendiri-sendiri (Andrian, 2006).

§  Totua Ngata adalah dewan para totua kampong yang menjalankan kepemimpinan kolektif atas segenap urusan pemerintahan desa.
§  Maradika  adalah keturunan bangsawan yang dipilih oleh Totua Ngata dan berperan sebagai kepala   suku dari masyarakat bersangkutan.
§  Tina Ngata adalah ibu bagi masyarakat yang terbentuk atas dasar pengakuan masyarakat.
Tina Ngata terbentuk karena peran perempuan yang penting bagi masyarakat, yaitu sebagai penyimpan adat dan pemilik otoritas pengelolaan warisan orang tua. (Golar, 2007).

Sebelum adanya TNLL, masyarakat Toro sudah  menerapkan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan dengan cara membagi alam menjadi zona-zona tertentu, diantaranya adalah:

 Wana ngkiki, merupakan zona inti atau hutan primer, dimana pada daerah ini tidak boleh dilakukan aktifitas eksploitasi hutan. Zona ini terletak pada ketinggian 1000 mdpl dengan luas 2300 Ha, didominasi oleh rerumputan, lumut, dan perdu. Zona ini dianggap sebagai sumber udara sehingga keberadaannya dianggap sangat penting.

 Wana, merupakan hutan primer yang merupakan habitat bagi hewan dan tumbuhan langka. Selain itu juga merupakan zona tangkapan air. Di zona ini setiap orang dilarang membuka lahan pertanian. Zona ini dimanfaatkan utuk kegiatan mengambil getah damar, wewangian,obat-obatan  dan rotan. Seluruh sumber daya di zona ini dikuasai secara kolektif. Kepemilikan pribadi hanya berlaku pada pohon damar  yang diberikan kepada orang pertama kali mengambil dan mengolah getah damar itu. Kawasan wana merupakan hutan yang terluas di wilayah adat Ngata Toro dengan luas 11.290 Ha.

 Pangale, merupakan hutan bekas tebang (5-15 tahun yang lalu) yang telah mengalami suksesi kembali atau yang sudah dijadikan kebun dan lahan pertanian oleh masyarakat. Zona Pangale biasanya juga dimanfaatkan untuk mengambil rotan dan kayu untuk bahan bangunan dan keperluan rumah tangga, pandan hutan untuk membuat tikar dan bakul, bahan obat-obatan, getah damar dan wewangian. Kesemuanya harus berdasarkan izin dari lembaga adat atau pemerintah desa terlebih dahulu. Luas zona ini adalah 2950 Ha.

 Pahawa Pongko, merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan selama 25 tahun keatas, yang telah mengalami suksesi kembali atau yang sudah dijadikan kebun dan lahan pertanian oleh masyarakat.

 Oma, merupakan hutan belukar yang terbentuk dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu menurut masa rotasi dalam sistem peladangan bergilir dizona ini hak kepemilikan pribadi atas lahan diakui.

 Pongata, merupakan wilayah pemukiman masyarakat, biasanya berada pada dataran yang lebih rendah.

 Polidae, merupakan lahan usaha pertanian masyarakat, berupa sawah dan lahan pertanian kering.

Berdasarkan zona-zona tersebut masyarakat Toro membentuk sistem pengolahan tanah bergilir. Lahan hutan yang telah dibuka disebut popangalea, orang yang membukanya pertama kali memiliki hak kepemilikan lahan. Lahan terbuka yang produktif disebut bone. Setelah beberapa kali masa tanam, kesuburan tanah akan menurun seiring dengan menurunnya nutrisi yang terkandung didalam tanah, tanah jenis ini disebut balingkea. Apabila memungkinkan balingkea ditanami lagi untuk satu atau beberapa kali masa tanam (mobalingkea). Balingkea yang tidak ditanami lagi, dan ditinggalkan (1-25 tahun) untuk mengembalikan kesuburan tanah disebut Oma.

Selain itu, adat Toro juga melarang adanya perburuan terhadap Anoa, Babirusa, burung Enggang dan burung Maleo. Hal ini dikarenakan Anoa merupakan hewan yang dilindungi dan dianggap sebagai hewan adat yang hanya boleh dimakan dalam upacara adat, Babirusa dilindungi karena bentuk fisiknya yang unik, Enggang dilindungi karena warnanya yang indah, sementara Maleo dilindungi karena telurnya yang unik.

Kearifan lokal masyarakat Toro dalam pemanfaatan sumber daya alam dapat terlihat dari kegiatan seperti dibawah ini:

Pembukaan Lahan
Dalam aturan masyarakat adat Toro, lahan yang dapat dibuka adalah Oma, terutama Oma Ngura (telah ditinggalkan 3-5 tahun) dan Oma Ntua (telah ditinggalkan 5-25 tahun) sedangkan lahan yang tidak diperkenankan untuk dibuka dengan alasan apapun adalah Pangale. Setiap yang ingin membuka lahan diwajibkan mengajukan permohonan kepada pemerintah desa melalui LMA (Lembaga Masyarakat Adat) disertai alasan, lokasi yang akan dimanfaatkan dan luasan yang dibutuhkan. Setelah izin diberikan, pembukaan lahan harus didahului dengan upacara adat “Mohamele manu bula”.

Pengambilan Kayu
Izin pengambilan kayu dikeluarkan apabila tujuan pemanfaatan semata-mata untuk kebutuhan domestik. Namun dalam perkembangannya, saat ini telah diperkenankan pula memanen kayu untuk bahan baku industri meubel dan kusen berskala lokal. Setelah mendapat izin penebangan, terlebih dahulu harus dilakukan upacara adat “Mowurera pu kau”. Selain itu perlu diperhatikan bahwa kayu yang ditebang berdiameter minimal 60cm, dan tidak melakukan penebangan di daerah Taolo, yaitu lokasi yang bertopografi miring sepanjang daerah aliran sungai dan di tempat yang rawan longsor dan erosi.

Pemanenan Rotan 
Rotan yang akan dipanen harus berumur lebih dari tiga tahun, dan penetapan lokasi ditentukan oleh hasil musyawarah lembaga adat dengan memperhatikan prinsip rotasi (ra ombo). Selain itu, terdapat larangan untuk menarik rotan sepanjang daerah aliran sungai pada saat tanaman padi di sawah ataupun ladang mulai berbulir.



Contoh kasus perubahan lingkungan dan respon masyarakat adat Toro:

Perubahan lingkungan pada masyarakat adat Toro yang disebabkan oleh faktor eksternal dan internal yaitu intervensi ekonomi pasar dan dinamika pokok menyangkut ketidakseimbangan hak penguasaan lahan yang menimbulkan respon dari masyarakat yang berimplikasi terhadap kestabilan sumber daya alam. 
Intervensi ekonomi pasar berdampak pada perubahan intensitas pemanfaatan lahan di Toro. Permintaan pasar yang tinggi terhadap tanaman komersil seperti kakao, kopi, dan vanila berpengaruh terhadap preferensi ekonomi masyarakat yang berdampak pada konversi lahan untuk ditanami dengan tanaman komersil. Dinamika politik masyarakat Toro diwarnai oleh ketidakseimbangan hak penguasaan akan lahan. Ditetapkannya 80 % wilayah Toro sebagai bagian TNLL (sesuai SK. Menteri Kehutanan No. 593/Kpts-II/1993) berimplikasi pada melemahnya kontrol lembaga adat atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Faktor-faktor diatas membuat masyarakat merespon dengan melakukan revitalisasi kelembagaan adat sebagai penyesuaian diri terhadap perubahan lingkungan. Gerakan revitalisasi di Toro diwarnai dengan pendokumentasian sejumlah pengetahuan lokal, sistem nilai, norma sosial, dan hukum adat yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, juga terus berlanjut hingga pembuatan peta partisipatif yang menggambarkan lokasi, batas-batas kawasan serta hak kepemilikan (bersama atau pribadi) dan restrukturasi lembaga pemerintahan Desa Toro.


KESIMPULAN
Perubahan lingkungan adalah tantangan yang dapat melunturkan nilai-nilai kearifan tradisional yang berimplikasi negatif pada kestabilan sumber daya alam. Respon masyarakat Toro dalam mengatasi krisis perubahan lingkungan, yaitu dengan revitalisasi kelembagaan desa dapat menjadi contoh bagi masyarakat adat lain. 
Masyarakat Toro hingga kini masih menjalankan tradisinya. Perusak hutan dan pemburu hutan yang dilindungi akan dikenakan hukum adat. Pada mulanya, hukuman adat yang diberikan berupa satu kerbau, satu kain besa, dan sepuluh dulang. Namun saat ini yang diberikan berupa denda uang disesuaikan dengan kesalahan yang ada. Dari keseluruhan kondisi hutan Lore Lindu, hutan di Toro termasuk hutan yang paling dilindungi. Perekonomian masyarakat toro dapat berkembang tanpa harus merusak hutan ataupun alam. Kehidupan masyarakat Toro yang selaras dengan alam dapat menjadi contoh yang baik bagi masyarakat luas.

DAFTAR PUSAKA 

…….”Pendidikan Lingkungan Hidup Berbasis Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah 2002-2003”. Yayasan Merah Putih. http://www.ymp.or.id
Andrian, Handi. 2006.”Kearifan Suku Toro Menjadi Hutan”. Tabloid Pesona Nusantara, Jum’at, 27 Oktober 2006. Media Indonesia
Golar. 2007. Strategi Adaptasi Masyarakat Adat Toro, Kajian Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah. Disertai. Bogor :Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ayu Winarmi, Andita Citra Resmi, Nilamsari Putri Silitonga, Chashyati dan Remini Chery Putri. Jurusan Managemen Keuangan, Universitas Gunadarma.


Sumber : 

k  kredit gambar