PENDAHULUAN
Indonesia
dengan berbagai suku bangsa mempunyai keragaman kearifan lokal, kearifan
tradisional, dan budaya didalamnya terkandung nilai-nilai etika dan moral,
serta norma-norma yang sangat mengedepankan pelestarian fungsi lingkungan.
Nilai-nilai tersebut menyatu dalam kehidupan masyarakat setempat menjadi pedoman dalam berperilaku dan
berinteraksi dengan alam, memberi landasan yang kuat bagi pengolahan lingkungan
hidup, menjadikan hubungan antara manusia dengan alam menjadi lebil laras dan
harmoni sebagaimana ditunjukkan dari pandangan manusia pada fase pertama
evolusi hubungan manusia dengan alam, yaitu pan
cosmism (Hadi, 2009:23).
Kearifan tradisional adalah pengetahuan secara
turun-temurun yang dimiliki oleh masyarakat untuk mengelola lingkungan
hidupnya, yaitu pengetahuan yang melahirkan perilaku sebagai hasil dari
adaptasi mereka terhadap lingkungan yang mempunyai implikasi positif terhadap
kelestarian lingkungan (Purnomohadi, 1985). Bagi masyarakat adat, kearifan
tradisional merupakan peraturan yang harus dipatuhi dan dijunjung tinggi.
Kepatuhan ini ada karena kearifan kearifan tradisional berakar kuat dalam
kebudayaan mereka dan mendarah daging dalam keseharian hidup mereka.
Kearifan tradisional ini dapat dilihat pada
masyarakat adat Ngata Toro yang tinggal di dalam atau berbatasan dengan kawasan
Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala,
Sulawesi Tengah.
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT TORO
Toro
terletak sekitar 1200 1’ BT – 1200 30” BT dan 10
29’ 30” LS – 10 32’ LS,dengan luas wilayah 229,5 km2 (22.950 Ha) dan ketinggian rata-rata 800
m diatas permukaan laut (mdpl). Toro berada dalam wilayah kecamatan Kulawi,
Donggala, Sulawesi Tengah. Masyarakatnya dikenal sebagai komunitas yang
memiliki pranata sosial dan kelembagaan adat yang yang sangat kuat. Struktur
masyarakatnya telah teratur sejak zaman nenek moyang mereka. Masyarakat Toro
memiliki pemerintahan sendiri yang mengatur segala bentuk kehidupan mereka,
termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam.
Toro terletak sekitar 120
Dalam pemerintahannya ada tiga
unsur yang sama tinggi, yaitu totua ngata, maradika, dan tina ngata.
Ketiganya memiliki fungsi masing-masing
tapi tidak berjalan sendiri-sendiri (Andrian, 2006).
§ Totua Ngata adalah dewan para totua
kampong yang menjalankan kepemimpinan kolektif atas segenap urusan pemerintahan
desa.
§ Maradika adalah keturunan bangsawan yang dipilih oleh
Totua Ngata dan berperan sebagai kepala suku dari masyarakat bersangkutan.
§ Tina Ngata adalah ibu bagi masyarakat
yang terbentuk atas dasar pengakuan masyarakat.
Tina Ngata
terbentuk karena peran perempuan yang penting bagi masyarakat, yaitu sebagai
penyimpan adat dan pemilik otoritas pengelolaan warisan orang tua. (Golar,
2007).
Sebelum adanya TNLL, masyarakat
Toro sudah menerapkan kearifan lokal
dalam pengelolaan hutan dengan cara membagi alam menjadi zona-zona
tertentu, diantaranya adalah:
Wana
ngkiki, merupakan zona inti atau hutan primer, dimana pada daerah ini
tidak boleh dilakukan aktifitas eksploitasi hutan. Zona ini terletak pada
ketinggian 1000 mdpl dengan luas 2300 Ha, didominasi oleh rerumputan, lumut,
dan perdu. Zona ini dianggap sebagai sumber udara sehingga keberadaannya
dianggap sangat penting.
Wana, merupakan hutan primer yang
merupakan habitat bagi hewan dan tumbuhan langka. Selain itu juga merupakan zona
tangkapan air. Di zona ini setiap orang dilarang membuka lahan pertanian. Zona
ini dimanfaatkan utuk kegiatan mengambil getah damar, wewangian,obat-obatan dan rotan. Seluruh sumber daya di zona ini
dikuasai secara kolektif. Kepemilikan pribadi hanya berlaku pada pohon
damar yang diberikan kepada orang
pertama kali mengambil dan mengolah getah damar itu. Kawasan wana merupakan
hutan yang terluas di wilayah adat Ngata Toro dengan luas 11.290 Ha.
Pangale,
merupakan hutan bekas tebang (5-15 tahun yang lalu) yang telah mengalami
suksesi kembali atau yang sudah dijadikan kebun dan lahan pertanian oleh
masyarakat. Zona Pangale biasanya juga dimanfaatkan untuk mengambil rotan dan
kayu untuk bahan bangunan dan keperluan rumah tangga, pandan hutan untuk
membuat tikar dan bakul, bahan obat-obatan, getah damar dan wewangian.
Kesemuanya harus berdasarkan izin dari lembaga adat atau pemerintah desa
terlebih dahulu. Luas zona ini adalah 2950 Ha.
Pahawa
Pongko, merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan selama 25
tahun keatas, yang telah mengalami suksesi kembali atau yang sudah dijadikan
kebun dan lahan pertanian oleh masyarakat.
Oma,
merupakan hutan belukar yang terbentuk dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan
untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu menurut masa rotasi dalam sistem
peladangan bergilir dizona ini hak kepemilikan pribadi atas lahan diakui.
Pongata,
merupakan wilayah pemukiman masyarakat, biasanya berada pada dataran yang lebih
rendah.
Polidae,
merupakan lahan usaha pertanian masyarakat, berupa sawah dan lahan pertanian
kering.
Berdasarkan zona-zona tersebut
masyarakat Toro membentuk sistem pengolahan tanah bergilir. Lahan hutan yang
telah dibuka disebut popangalea,
orang yang membukanya pertama kali memiliki hak kepemilikan lahan. Lahan
terbuka yang produktif disebut bone.
Setelah beberapa kali masa tanam, kesuburan tanah akan menurun seiring dengan
menurunnya nutrisi yang terkandung didalam tanah, tanah jenis ini disebut balingkea. Apabila memungkinkan
balingkea ditanami lagi untuk satu atau beberapa kali masa tanam (mobalingkea).
Balingkea yang tidak ditanami lagi, dan ditinggalkan (1-25 tahun) untuk
mengembalikan kesuburan tanah disebut Oma.
Selain itu, adat Toro juga
melarang adanya perburuan terhadap Anoa, Babirusa, burung Enggang dan burung
Maleo. Hal ini dikarenakan Anoa merupakan hewan yang dilindungi dan dianggap
sebagai hewan adat yang hanya boleh dimakan dalam upacara adat, Babirusa
dilindungi karena bentuk fisiknya yang unik, Enggang dilindungi karena warnanya
yang indah, sementara Maleo dilindungi karena telurnya yang unik.
Kearifan lokal masyarakat Toro dalam pemanfaatan sumber daya alam dapat terlihat dari kegiatan seperti dibawah ini:
Pembukaan Lahan
Dalam aturan masyarakat adat Toro, lahan yang dapat dibuka adalah Oma, terutama Oma Ngura (telah ditinggalkan 3-5 tahun) dan Oma Ntua (telah ditinggalkan 5-25 tahun) sedangkan lahan yang tidak diperkenankan untuk dibuka dengan alasan apapun adalah Pangale. Setiap yang ingin membuka lahan diwajibkan mengajukan permohonan kepada pemerintah desa melalui LMA (Lembaga Masyarakat Adat) disertai alasan, lokasi yang akan dimanfaatkan dan luasan yang dibutuhkan. Setelah izin diberikan, pembukaan lahan harus didahului dengan upacara adat “Mohamele manu bula”.
Pengambilan Kayu
Izin pengambilan kayu dikeluarkan apabila tujuan pemanfaatan semata-mata untuk kebutuhan domestik. Namun dalam perkembangannya, saat ini telah diperkenankan pula memanen kayu untuk bahan baku industri meubel dan kusen berskala lokal. Setelah mendapat izin penebangan, terlebih dahulu harus dilakukan upacara adat “Mowurera pu kau”. Selain itu perlu diperhatikan bahwa kayu yang ditebang berdiameter minimal 60cm, dan tidak melakukan penebangan di daerah Taolo, yaitu lokasi yang bertopografi miring sepanjang daerah aliran sungai dan di tempat yang rawan longsor dan erosi.
Pemanenan Rotan
Rotan yang akan dipanen harus berumur lebih dari tiga tahun, dan penetapan lokasi ditentukan oleh hasil musyawarah lembaga adat dengan memperhatikan prinsip rotasi (ra ombo). Selain itu, terdapat larangan untuk menarik rotan sepanjang daerah aliran sungai pada saat tanaman padi di sawah ataupun ladang mulai berbulir.
Contoh kasus perubahan lingkungan dan respon masyarakat adat Toro:
Perubahan lingkungan pada masyarakat adat Toro yang disebabkan oleh faktor eksternal dan internal yaitu intervensi ekonomi pasar dan dinamika pokok menyangkut ketidakseimbangan hak penguasaan lahan yang menimbulkan respon dari masyarakat yang berimplikasi terhadap kestabilan sumber daya alam.
Intervensi ekonomi pasar berdampak pada perubahan intensitas pemanfaatan lahan di Toro. Permintaan pasar yang tinggi terhadap tanaman komersil seperti kakao, kopi, dan vanila berpengaruh terhadap preferensi ekonomi masyarakat yang berdampak pada konversi lahan untuk ditanami dengan tanaman komersil. Dinamika politik masyarakat Toro diwarnai oleh ketidakseimbangan hak penguasaan akan lahan. Ditetapkannya 80 % wilayah Toro sebagai bagian TNLL (sesuai SK. Menteri Kehutanan No. 593/Kpts-II/1993) berimplikasi pada melemahnya kontrol lembaga adat atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Faktor-faktor diatas membuat masyarakat merespon dengan melakukan revitalisasi kelembagaan adat sebagai penyesuaian diri terhadap perubahan lingkungan. Gerakan revitalisasi di Toro diwarnai dengan pendokumentasian sejumlah pengetahuan lokal, sistem nilai, norma sosial, dan hukum adat yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, juga terus berlanjut hingga pembuatan peta partisipatif yang menggambarkan lokasi, batas-batas kawasan serta hak kepemilikan (bersama atau pribadi) dan restrukturasi lembaga pemerintahan Desa Toro.
KESIMPULAN
Perubahan lingkungan adalah tantangan yang dapat melunturkan nilai-nilai kearifan tradisional yang berimplikasi negatif pada kestabilan sumber daya alam. Respon masyarakat Toro dalam mengatasi krisis perubahan lingkungan, yaitu dengan revitalisasi kelembagaan desa dapat menjadi contoh bagi masyarakat adat lain.
Masyarakat Toro hingga kini masih menjalankan tradisinya. Perusak hutan dan pemburu hutan yang dilindungi akan dikenakan hukum adat. Pada mulanya, hukuman adat yang diberikan berupa satu kerbau, satu kain besa, dan sepuluh dulang. Namun saat ini yang diberikan berupa denda uang disesuaikan dengan kesalahan yang ada. Dari keseluruhan kondisi hutan Lore Lindu, hutan di Toro termasuk hutan yang paling dilindungi. Perekonomian masyarakat toro dapat berkembang tanpa harus merusak hutan ataupun alam. Kehidupan masyarakat Toro yang selaras dengan alam dapat menjadi contoh yang baik bagi masyarakat luas.
DAFTAR PUSAKA
• …….”Pendidikan Lingkungan Hidup Berbasis Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah 2002-2003”. Yayasan Merah Putih. http://www.ymp.or.id
• Andrian, Handi. 2006.”Kearifan Suku Toro Menjadi Hutan”. Tabloid Pesona Nusantara, Jum’at, 27 Oktober 2006. Media Indonesia
• Golar. 2007. Strategi Adaptasi Masyarakat Adat Toro, Kajian Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah. Disertai. Bogor :Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Ayu Winarmi, Andita Citra Resmi, Nilamsari Putri Silitonga, Chashyati dan Remini Chery Putri. Jurusan Managemen Keuangan, Universitas Gunadarma.
Sumber :
k kredit gambar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar